Laman

Selasa, 04 Mei 2010

Abu Nawas Mau tapi Malu

الـهى لســت للفردوش اهــــلا # ولآ اقـوى علـى النار الجـحـيم
فهـب لى توبــتا واغـفـر ذنـوبـى # فـانك غافـر الذنـب العـظـيــم

Ilahi, lastu lil firdausi ahla # Wa la aqwa 'ala naril jahimi
Fahab li tawbatan waghfir dzunubi # Fainnaka ghafirud dzanbil adzimi
Artinya:
Tuhanku, aku tidaklah pantas menjadi penghuni (syurga) Firdaus #
Namun, aku juga tidak kuat menahan (panasnya) api neraka.
Maka berilah aku taubat dan ampunilah (ya Tuhan) atas dosa-dosa-ku #
Karena sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dosa lagi Maha Agung

Dua bait syair di atas hampir tiap waktu sehabis shalat fardu sehabis berdo’a dan shalawatan dikumandangkan oleh jemamah masjid lebih-lebih sehabis shalat jumu’at, juga bagi masyarakat sekitar masjid, qasidah tersebut sudah sangat akrab di telinga mereka. Ini salah sebuah diantara syair-syair Abu Nawas tentang zahud dan taubah ( الزهد و التـوبه ) yang berjumlah tujuh bait.
Namun, hampir yang melantumkan qasidah tersebut tidak mengetahui siapa gerangan penyair penggubahnya, namun sebagahaian yang mengetahui akan mengatakan itu gubahan penyair Abu Nawas namanya yang di negerinya di panggil Abu Nuwas.
Di negeri kita, juga negeri islam lainnya, orang mengetahui bahwa Abu Nawas adalah seorang jenaka yang penuh kecerdikan, humor dan lucu. Bahkan orang yang berkarter demikian sering mendapat julukan Abu Nawas, di Indonesia Benyamin Sueb atau Beng Slamet misalnya.
Itulah mengapa Haji MASUD mengawali humor-humornya dengan menampilkan tokoh penyair legendaries Abu Nawas, sebuah nama yang telah maklum dihati masyarakat agar dapat lebih mendekatkan rasa emosional humornya, demikian juga dalam penampilan nama-nama yang terdapat pada humor ini-pun bukanlah sebagai sindiran, ejekan, pelecehan maupun penghinaan juga hujatan.

Abu Nawas atau Ibnu Hanik nama lengkapnya Abu Ali al Hasan bin Hanik al Hakami yang dikenal dengan nama Abu Nawas, Abu Nuwas ( ابو نواس ) atau Abu Novas, sebagai nama kiasan untuknya karena suka mengantuk ( نعـاس ). Ia adalah salah seorang pujangga besar Arab klasik maupun Persia. Dia lahir disekitar tahun 756 M / 146 H di kota Ahwaz negeri Khazastan sebelah barat laut Iran pada masa pemerintahan khalifah Marwan II Dinasti Umaiyah. Tentang kelahiran dan wafatnya ada beberapa riwayat yang berbeda, maju-mundurnya sekitar lima tahunan.
Abu Nawas lahir dari hasil perkawinan serang pria berkebangsaan Arab-Syria ( Damsyiki دمشـقى ) - seorang lelaki pemberani yang bertugas sebagai tentara kerajaan (khilafah) Dinasti Umaiyah pada masa pemerintahan Marwan- bernama al Hakami dengan wanita berkebangsaan Persia namanya Julban atau Zulban.
Sepeninggal -al Hakami- ayahnya, saat itu Abu Nawas berusia dua tahunan, kemudian ibunya –Julban- ingin merubah nasib lalu pindah tempat tinggal dari Ahwas ke Basrah daerah Iraq, ketika itu Abu Nawas berumur 6 tahun. Selama di Basrah ia belajar di Masjid Basrah pada Abu Zaid dan Abu Ubaidah tentang ilmu-ilmu agama seperti fiqh, hadits, tafsir siangnya membantu ibunya mencari nafkah. Kemudian ia pindah ke Kufah belajar kepada Khalaf al Ahmar mendalami fiqih, ayat-ayat ahkam (tentang hukum) tentang ayat-ayat mutasyabihat (metaforis), tentang nasih dan mansuh pada ayat-ayat al Qur’an. Kemudian dari Kufah ia pindah ke pedalaman padang pasir -pada suku Badui- belajar syair dan adab (sastra arab dan kemanusiaan) kepada Bani Asad bin Khuzaimah serta mendalami bahasa Arab selama setahun beberapa bulan. Kemudian kembali ke Basrah, mulailah ia mengembara sebagai pujangga penyair yang dirangkai menjadi sebuah qasidah (tembang) dengan bahar-bahar (sekar atau sajak) yang berbeda beda. Pengembaraan berlanjut menuju Bagdad lalu ke Damsyik sampai ke Mesir, kemudian kembali lagi ke Bagdad.
Abu Nawas wafat sekitar tahun 814 M bertepatan tahun 207 H pada masa pemerintahan khalifah Al Ma’mun pengganti Harun al Rasyid Bani Abasyiah di pemondokan Ismail Naubkhat ( دار اســـماعـيل بـن نـبخ ) setelah lama dipenjara oleh Khalifah Harun al Rasyid.
Pada masa hidup Abu Nawas, Dunia Islam sedang menanjak sampai di pusat kejayaan. Budaya India, Persia, Yunani, Romawi masuk ke dunia Islam, ini merupakan era kebebasan ; era liberal ; era rasional. Kebebasan berfikir, kebebasan beraqidah, kebebasan memberi petunjuk dan kebebasan menyesatkan, kebebasan menuju jalan ketaqwaan ( تقـوى ) dan kebebasan menuju jalan kejahatan ( فجــور ( semua budaya pemikiran masuk kedalamnya terjadilah akulturasi menampak sebagai masyarakat muslim multikultura atau pluralis. Namun terdapat juga kelompok minoritas yang bersiteguh pada ajaran salaf dalam mempertahankan nilai al Qur’an dan as Sunnah, walau dengan konsekwensi logis harus masuk penjara atau dihukum pancung karena aqidahnya segaris dengan faham jabariyah atau predestination. Memang kelompok rasional, liberal yang berfaham qadariyah atau free will telah masuk ke dalam system kekuasaan pemerintahan khalifah, sebagai contoh Imam Hambali harus menerima hukuman pancung karena masih bersiteguh mempertahankan ajaran salaf dan berfaham jabariyah, juga ada muridnya yang bernasib sama dan banyak juga yang dipenjarakan.

Sepeninggal Abu Nawas, kumpulan qasidah syair-syairnya dihimpun dalam sebuah naskah yang dinamai “ Diwan Abu Nuwas “ديوان أبي نواس atau “Kumpulan Puisi Abu Nawas”.

Sebagai anekdot kejenakaannya yang telah mejadi humor-humor keseharian, diantaranya ;

1, Abu Nawas membokongi khalifah Harun al Rasyid;
Untuk mendekatkan Khalifah dengan rakyatnya, konon diadakanlah tiap bulan sekali awal jum’at pertama tiap bulannya semenjak fajar hingga menjelang shalat jum’at. Semua rakyat boleh menyampaikan aspirasinya secara bebas, waktunya terbatas dan tidak boleh menghina. Ada yang menyampaikan dengan pidato layaknya orator, ada dengan baca puisi ada juga yang dilantumkan, ada juga gerak tanpa suara bak pantomin ada juga yang membuat lawakan. Begitu Abu Nawas mendapat giliran, mulailah Abu Nawas naik panggung memberi hormat pada khalifah dengan menunndukkan wajah, meletakkan tangan kanannya di dada kirinya. Bagai badut sirkus mulailah ia mempertontonkan kebolehannya, yang disambut tebuk tangan, suitan siul dengan sambil menepuk pipi. Ditunnjukkan pada lengannya ada kancing baju, pundaknya juga, kerah lehernya juga ada beberapa, di dengkulnya, bagian bawah jubahnya; semua kancing baju yang ada di baju dan jubahnya, kemudian berhenti sejenak sambil meletakkan telapak tangannya di kening seakan memikirkan sesuatu, lalu ditunjukkan sebuah kancing baju yang besar dijahit pada bokong jubahnya, sambil membongkokkan badan dan membokongi khalifah.
Oleh penyelenggara ia (Abu Nawas) dinyatakan bersalah karena menghina, karena adat kesopanan orang Bagdat memegang bokong adalah penghinaan.
@ Kurang hajar walau wajar pada tempatnya, namun akhirnya wajar juga ia dipenjara.

2, Hukuman Berak (saja)
Karena Abu Nawas buang air besar di tempat umum ; sebagai hukuman imbalan, seluruh warga se kampungnya di suruh berak di depan rumahnya. Oleh Abu Nawas di lihat siapa yang plus kencing di tandai, setelah selesai Abu Nawas membawa ember penuh air comberan yang kotor lagi bauk tak sedap, kemudian disiramlah satu gayung bagi yang berak plus kencing, alasannya mengencingi halaman rumahnya tidak termasuk dalam imbalan hukuman.
@Menambah imbalan hukuman dan main hakim sendiri.

3. Putri Harun al Rasyid Jatuh Sakit.
Sang putri khalifah yang menginjak dewasa jatuh sakit, setiap habis tambil di hadapan public. Tabib seluruh negeri tak ada yang sanggup menyembuhkan, sayembara pun disebar, siapa yang dapat menyembuhkan putrinya akan diberi hadiah. Suatu hari Putri khalifah tampil di keramaian dengan wajah pucat disertai jantung berdebaran. Mengetahui akan hal itu; membelilah Abu Nawas jubah wanita, model yang sedang in & ngetren bagi gadis remaja saatb itu. Mendekatlah Abu Nawas sambil membisikkan ke telinga putri khalifah lalu memberikan bungkusan. Pergilah sang putri ke kereta caravan kerajaan yang tak jauh dari tempat itu. Beberapa menit kemudian putri dengan wajah berseri-seri dan senyum mungilnya, keluar dari caravan sambil mengenakan jubah yang diberikan Abu Nawas kemudian bergabung dengan remaja seusianya yang sedang menyaksikan festival dengan penuh ceria. Dan seterusnya tidak sakit lagi.
@ Putri lebih menyenangi baju yang layak digunakan remaja seusianya.

Demikian, sekelumit tentang Abu Nawas seorang penyair, pemabuk dan akhir hayatnya bertaubat, walau Aththar Fariduddin tidak memasukkan ke dalam kitab Tadzkiratul Auliya-nya.

Memang bukan Abu Nawas kalau bukan Penyair, dalam keadaan menikmati ke-mabukan-nya-pun ia masih sempat mengambil pena dan kertas, karena memiliki kemampuan untuk mengerem dan menikmati kelezatan mabuk jangan sampai berhenti di otak, lalu ia menulis sebuah syair yang diberi judul Khamr / Mabuk

Sementara di sudahi dahulu, dan inilah sebuah bait syair - nya

ولما شــربناهـا و دب دبــيبها # الى موطن الأســرار قلـت لها : قفى

wa lamma syaribna-ha wa dabba dabibuha #
ila mauthinil asrari qultu laha : qifiy

Dan ketika kami meminumnya dan merayaplah rayapannya #
hingga sampai ke negeri bahagia, ku katakan padanya ; berhentilah !

Bait syair tersebut di atas, merupakan bentuk kinayah atau kiasan, dimana Abu Nawas menggambarkan ketika khamar itu sampai dinegeri yang menyenangkan, bukan dimaksud negeri Bagdad yang saat itu sebagai negeri 1001 malam yang penuh ke-glamoran. Namun negeri yang penuh kesenangan, kegembiraan dan ke-glamoran, itulah hati.

Muuuulai ! : maabuuuuk lagiiiii, maabuk laagiiiiiiii ???!!!!

(--- mic--- )

M.Masud CHATIM al HAJJ - H2M .001

Tidak ada komentar:

Posting Komentar